Wamena | Mediaprorakyat.com – Nelson Kossay, S.Tr.P, pemuda asal Kampung Temia, Distrik Musalfak, Kabupaten Jayawijaya, kembali ke Wamena usai menyelesaikan studi di Politeknik Negeri Manokwari. Dengan tekad kuat, ia kini mengembangkan usaha peternakan ayam petelur, itik, bebek, kelinci, dan babi di Jln. SD Percobaan Potikelek, Kelurahan Honelama Dua, Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan.
Nelson mengisahkan bahwa ia adalah alumni SMK Yasores, jurusan pertanian. Setelah tamat, ia melanjutkan pendidikan di Politeknik Manokwari selama empat tahun. Selama kuliah, ia tidak hanya belajar tentang pertanian dan peternakan, tetapi juga aktif dalam olahraga tinju, bahkan sempat mewakili Papua Barat dalam ajang kejuaraan.
“Saya tertarik kuliah di sana karena kampusnya punya program usaha pertanian dan peternakan. Di sana saya belajar beternak ayam petelur, ayam potong, babi, itik, dan lainnya,” jelas Nelson, Rabu (23/7/2025).
Pengalaman di luar Papua saat menjalani KKN juga menjadi pemicu semangatnya untuk terjun ke dunia wirausaha. Usai kembali ke Wamena, Nelson bertemu kepala sekolah SMK Yasores dan diterima sebagai tenaga honor. Sekolah bahkan mempercayainya untuk menjaga lingkungan sekolah sekaligus mengizinkan Nelson menjalankan usaha ternaknya di area sekolah.
“Saya bentuk kelompok kecil bernama Kelompok Berkat. Kami mulai dari ayam petelur 15 ekor, itik 15 ekor, bebek 15 ekor, babi 11 ekor, dan kelinci 2 pasang,” ujarnya.
Namun, seiring waktu, jumlah ternaknya berkurang akibat keterbatasan pakan dan vitamin. Kendala modal dan operasional menjadi tantangan utama, namun hal itu tidak menyurutkan semangat Nelson.
“Saya bersyukur punya bapak angkat, Bapak Yusup Bandung, yang selalu memberikan dukungan, baik secara moral maupun materi seperti membantu membeli pakan ayam dan babi,” ungkapnya.
Untuk telur ayam, Nelson menjualnya dengan harga Rp500 per butir, meski masih kesulitan menjangkau pasar lebih luas. Ia masih menggunakan pakan lokal dan tanaman kebun sendiri, seperti jagung, yang digiling menggunakan mesin pribadi.
“Saya juga baru dapat bantuan mesin pengupas kulit kopi. Kebetulan, saya dan keluarga juga mengelola kebun kopi seluas 5 hektare, warisan dari orang tua sejak tahun 1998,” tambah Nelson.
Meski sudah ada kelompok kopi yang dikelola bersama sang ayah, kendala utama adalah kurangnya anggota tetap dan belum adanya label produk. Saat ini, hasil kopi mereka sudah dipasarkan dalam bentuk bubuk ke beberapa kafe lokal dengan harga Rp100.000 per kilogram.
“Kami sedang berupaya mengurus label, dan ada beberapa pihak yang sudah tertarik menjalin kerja sama. Tapi sumber daya manusia dalam kelompok masih kurang konsisten,” jelasnya.
Nelson juga mengakui bahwa berbagai tantangan kerap datang, mulai dari aktivitas sekolah, kegiatan gereja, hingga urusan pribadi yang kadang membuatnya lalai memberi makan ternak. Namun ia menganggap semua itu sebagai proses pendewasaan.
“Tantangan ini malah jadi penyemangat saya untuk terus berkembang. Harapan saya, pemerintah melalui dinas terkait bisa memberi perhatian dan dukungan kepada generasi muda yang ingin serius di bidang wirausaha,” tutupnya.
Nelson menegaskan bahwa generasi muda tidak harus bergantung pada bantuan semata, melainkan harus terus berinovasi, berusaha, dan menikmati proses dalam membangun usaha dari nol.
[red/mpr/js]