Pilatus Alua Kembangkan Warisan Kopi Arabika Aluama di Distrik Kurulu, Jayawijaya
Wamena | mediaprorakyat.com – Pilatus Alua, pemuda asal Kampung Sompaima, Desa Jiwika, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, dengan tekun mengembangkan potensi kopi Arabika yang merupakan warisan dari mendiang ayahnya, Frans Alua. Usaha ini bukan sekadar bisnis, melainkan bentuk penghormatan sekaligus kelanjutan perjuangan sang ayah dalam membudidayakan kopi dan madu lokal sejak lama.
Dalam wawancara bersama mediaprorakyat pada Rabu (15/7/2025), Pilatus menceritakan perjalanannya yang penuh tantangan dan tekad.
Kopi Arabika Aluama bukan hanya komoditas lokal, melainkan simbol perjuangan dan keteguhan. Di tengah keterbatasan alat, akses pemasaran, dan minimnya sumber daya manusia, Pilatus memilih kembali ke kampung halaman.
Ia meninggalkan bangku kuliah demi mengambil alih tongkat estafet warisan keluarga. Kini, ia menjadi salah satu generasi muda Papua Pegunungan yang berusaha bertahan dan berdaya melalui potensi lokal.
Potensi kopi Arabika dari Kampung Sompaima telah dibudidayakan sejak lama oleh almarhum Frans Alua. Selain kopi, Frans juga dikenal sebagai pembudidaya madu lokal, yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
Pilatus mengenang masa kecilnya yang dipenuhi pengalaman mendampingi sang ayah mengelola kopi.
“Bapak dulu kelola kopi dan madu, hasilnya digunakan untuk bayar uang sekolah kami. Waktu saya kuliah di UNIPA Manokwari jurusan Peternakan, bapak meninggal, dan saya terpaksa berhenti kuliah karena tidak ada biaya,” ujarnya.
Keputusan untuk kembali ke Wamena dan melanjutkan usaha kopi keluarga bukanlah hal yang mudah.
Ia sempat melanjutkan pendidikan di Petra Baliem Wamena hingga selesai, sembari perlahan mengembangkan usaha kopi.
Saat ini, Pilatus mengelola sekitar 3 hektare lahan kopi dengan dua kali masa panen per tahun, yakni pada bulan April dan Juni. Dalam satu kali panen, ia mampu menghasilkan 5 hingga 7 kilogram biji kopi kering.
Meski demikian, berbagai tantangan masih ia hadapi. “Saya kerja sendiri, belum punya label merek, dan masih kesulitan alat serta tenaga kerja,” ungkapnya.
Mesin pengupas kulit kopi yang digunakan merupakan bantuan dari pemerintah, namun proses pengolahan dan pemasaran masih dilakukan secara manual. Untuk sementara, kopi dijual per bungkus seharga Rp20 ribu, sesuai dengan permintaan konsumen.
Transportasi dari kebun ke kota menjadi kendala utama dalam proses pemasaran, ditambah tidak adanya tempat penampungan atau outlet tetap.
Meski begitu, Pilatus tidak menyerah. Ia bahkan berencana membuka lahan tambahan, meskipun rencana tersebut masih terkendala oleh terbatasnya biaya dan peralatan.
Di tengah perjuangannya, Pilatus berharap adanya perhatian lebih dari pemerintah daerah, khususnya dinas terkait.
Ia menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat, terutama dalam mendukung generasi muda Papua Pegunungan yang ingin mandiri dan berdaya melalui usaha lokal.
“Kami, anak Papua, juga bisa bersaing di dunia wirausaha, asal ada dukungan nyata dari pemerintah,” pungkas Pilatus dengan penuh harap.
[red/mpr/js]