Mama-Mama Papua, Tulang Punggung Ekonomi Pasar Tradisional Jibama
Wamena | mediaprorakyat.com — Di tengah barisan noken dan tumpukan sayur-mayur lokal, Salomina Logo, seorang ibu asal Kampung Obia, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya, setiap pekan menembus dinginnya pagi dan terik matahari demi menjual hasil kebunnya.
Dengan berjalan kaki menuju terminal kampung dan menumpang angkutan umum ke Pasar Jibama, ia membawa lebih dari sekadar dagangan , ia membawa harapan bagi keluarganya, Selasa (29/7/2025).
Sayur-mayur seperti petatas, daun petatas, keladi, labu, alpukat, dan komoditas lokal lainnya, semua ditanam sendiri oleh Salomina di kebun miliknya.
Tiga hingga empat kali seminggu, tergantung hasil panen, ia berangkat dari kampung menuju pasar tradisional Jibama yang merupakan pusat perdagangan utama di Wamena, Papua Pegunungan.
“Biasanya jam enam atau tujuh pagi sudah tunggu mobil. Uang taksi dari Kurulu bisa 20 ribu sampai 25 ribu rupiah,” tuturnya.
Setiap kali matahari mulai muncul dari balik Pegunungan Jayawijaya, Salomina telah bersiap dengan noken berisi hasil kebun di punggungnya.
Ia menempuh perjalanan demi menghidupi keluarga dan membiayai sekolah adiknya. Namun, bukan hal mudah, ia sering harus membawa pulang dagangan yang tak laku, bahkan kadang tak cukup uang untuk ongkos pulang.
“Kalau jualan tidak habis, saya bawa pulang atau buang. Kadang uang taksi untuk pulang pun tidak cukup,” ucapnya lirih.
Pendapatannya kini kian menurun. “Dulu bisa dapat sampai 300 ribu, sekarang paling 100 sampai 150 ribu,” ungkapnya.
Meski jumlahnya terbatas, uang itu tetap ia bagi: sebagian untuk kebutuhan rumah tangga, sebagian lagi untuk biaya pendidikan sang adik.
Sayangnya, bantuan pemerintah jarang dirasakan secara langsung. “Belum pernah dapat bantuan modal usaha. Hanya raskin dan dana desa sekali-sekali, sekitar 500 sampai 700 ribu rupiah,” katanya.
Meskipun penuh keterbatasan, Salomina tetap tegar dan tak kehilangan harapan. Ia berharap mama-mama kampung seperti dirinya mendapatkan dukungan nyata agar bisa bertahan.
“Saya harap pemerintah bantu kami. Kami kerja keras di kebun, bukan malas,” tegasnya.
Salah satu pembeli, Dorkas, mengungkapkan alasannya memilih membeli dari mama-mama kampung.
“Tidak pakai obat-obatan. Kalau kita beli dari mereka, kita bantu langsung ekonomi mereka. Kita bisa makan sehat, mereka bisa sekolahkan anak,” ujarnya.
Salomina Logo bukan sekadar pedagang lokal. Ia adalah simbol keteguhan perempuan Papua yang bekerja tanpa lelah, dari ladang hingga lapak, demi keberlangsungan hidup keluarga dan komunitas.
Di tengah arus modernisasi, kisahnya menjadi pengingat bahwa denyut ekonomi rakyat justru paling nyata di tanah, kebun, dan pasar-pasar tradisional.
[red/mpr/js]