Bintuni | Mediaprorakyat.com — Beredar luas di media sosial, khususnya grup WhatsApp, pernyataan tegas dari Ketua Marga Ateta, Benidiktus Ateta, yang menolak keras aktivitas perkebunan kelapa sawit oleh PT. Borneo Subur Primatama (PT. BSP) di wilayah adat mereka, Distrik Sumuri, Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat.
Dalam pernyataan terbuka yang disampaikan kepada publik, Benidiktus Ateta menegaskan bahwa tanah yang diklaim oleh PT. BSP merupakan tanah ulayat milik Marga Ateta, yang tidak pernah dilepaskan secara sah oleh komunitas adat.
“Kami, Marga Ateta, dengan tegas menolak aktivitas PT. BSP di atas tanah ulayat kami. Surat pelepasan tanah adat yang beredar dibuat tanpa sepengetahuan dan tanpa melibatkan komunitas kami,” tegas Benidiktus dalam pernyataan tertulis yang disertai dokumentasi visual, dikutip oleh wartawan Mediaprorakyat.com pada Selasa (8/7/2025), dari salah satu nomor kontak di grup WhatsApp.
Benidiktus menjelaskan bahwa terdapat dua individu yang mengatasnamakan Marga Ateta dan menandatangani Surat Pernyataan Pelepasan Tanah Adat secara diam-diam kepada perusahaan. Padahal, menurutnya, komunitas adat tidak pernah diberitahu dan tidak pernah memberikan mandat kepada kedua orang tersebut.
“Kami baru tahu setelah dokumen itu tersebar. Kami tidak pernah mewakilkan atau memberi kuasa kepada siapa pun untuk melepas tanah kami,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa sebelumnya pihak Marga Ateta telah menggelar Musyawarah Adat yang menghasilkan kesepakatan penting: menjaga hutan dan tanah adat dari segala bentuk aktivitas perusahaan.
Selain itu, Benidiktus juga mengungkap bahwa PT. BSP telah membuat perjanjian kerja sama pemanfaatan lahan untuk kebun kelapa sawit di wilayah adat Marga Ateta. Namun, perjanjian tersebut pun dibuat tanpa melibatkan perwakilan resmi atau tokoh adat yang memiliki mandat dari komunitas.
“Kami menolak semua bentuk aktivitas perusahaan yang ingin masuk ke wilayah adat kami. Kami telah bersepakat untuk menjaga hutan dan tanah kami dari segala bentuk perusakan,” tegas Benidiktus Ateta.
Pernyataan ini mendapat dukungan dari berbagai komunitas masyarakat sipil dan media warga seperti Jurnalis Warga (JW) MnuKwar, KontraS, serta Panah Papua, yang turut menyuarakan penolakan terhadap eksploitasi sumber daya alam tanpa persetujuan masyarakat adat.
[red/mpr/ist/hs]