Bintuni | Mediaprorakyat.com – Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT Borneo Subur Prima (PT BSP), yang membuka kantor mereka di Kabupaten Fakfak, diduga menjadi pemicu konflik horizontal antar komunitas masyarakat adat marga di Suku Sumuri dan Suku Irarutu.
Kedua suku tersebut merupakan bagian dari masyarakat adat asli tujuh suku di Kabupaten Teluk Bintuni, yang telah diakui dan dilindungi oleh negara melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Teluk Bintuni.
Konflik mulai mencuat setelah beredarnya surat dari PT BSP tertanggal 14 Mei 2025 yang ditujukan kepada Ketua Komisi Penilai Amdal Daerah Provinsi Papua Barat. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Marga Ateta, melalui perwakilannya Yacob Ateta, telah melepaskan tanah adat seluas 858,28 hektare, dan direncanakan akan menyusul pelepasan tambahan seluas 2.037 hektare.
Namun, pernyataan ini dibantah oleh Theresia Ateta, seorang perempuan adat dari Marga Ateta sekaligus Anggota Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB). Saat dikonfirmasi Mediaprorakyat melalui WhatsApp, Theresia menyatakan bahwa klaim pelepasan tanah tersebut tidak benar.
“Tete (Yacob Ateta) tidak pernah menandatangani surat pelepasan. Tindakan PT BSP menipu masyarakat karena tidak ada proses musyawarah yang dijalankan. Akibatnya, terjadi konflik internal dalam Marga Ateta sendiri. Bahkan tete Yacob Ateta telah mengklarifikasi dan menyatakan akan mengembalikan uang yang sebelumnya diterima dari PT BSP,” jelas Theresia, Minggu (25/5/2025)
Sebelumnya, pada 17 Mei 2025 di Kampung Aroba, telah dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara masyarakat Distrik Aroba, MRPB Provinsi Papua Barat, dan DPRK Teluk Bintuni. Dalam rapat tersebut, muncul perbedaan pendapat antar anggota marga.
Philipus Susure, salah satu tokoh masyarakat, menegaskan penolakannya terhadap investasi sawit.
“Saya lebih memilih melindungi tanah adat saya. Kebun bisa dicari ke tempat lain, tapi tanah ini tidak bisa diganti. Saya tidak setuju perusahaan sawit masuk,” ujar Philipus.
Sementara itu, Musa Susure menyoroti adanya ketidaksesuaian dalam dokumen yang dibuat perusahaan.
“Setiap marga punya permintaan berbeda, tapi isi surat kesepakatan dan berita acara semuanya mirip. Ini tidak masuk akal. Marga Kasina tidak mungkin sama dengan Marga Motombrie atau Susure,” tegas Musa.
Ketua Perkumpulan Panah Papua, Sulfianto Alias, turut mengkritik tindakan PT BSP yang diduga melakukan land grabbing atau perampasan lahan masyarakat adat.
“PT BSP merebut tanah dan sumber daya alam di dalamnya tanpa menerapkan prinsip FPIC (free, prior, and informed consent) secara benar. Pengetahuan masyarakat soal investasi sawit masih minim, sementara perusahaan datang dengan kekuatan modal dan memanfaatkan pertemuan dengan perwakilan marga untuk memenangkan negosiasi.”
Ia juga mengungkapkan bahwa lahan yang diusulkan PT BSP sebagian besar telah dibebani izin oleh perusahaan sebelumnya, yaitu PT Varita Majutama.
“Bupati Teluk Bintuni harus mempertimbangkan hal ini. Jangan sampai terjadi pemberian izin di atas izin, karena itu melanggar hukum. Kami terus berkoordinasi dengan Koordinator Pencegahan Korupsi Perizinan KPK, dan berencana membicarakan kasus ini lebih lanjut,” ujarnya.
Sebagai penutup, Sulfianto meminta Bupati Teluk Bintuni untuk tidak memberikan rekomendasi lingkungan kepada PT BSP, karena ia meyakini kepala daerah memiliki komitmen kuat untuk mendukung masyarakat adat dan kelestarian hutan Papua. [red/js]