Jakarta, Mediaprorakyat.com– Ketua Umum DPN Masyarakat Pertambangan Indonesia (MPI), Amin Ngabalin, mengkritik keras kebijakan pemerintah yang mengizinkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola izin usaha pertambangan (IUP). Menurut Ngabalin, kebijakan ini dapat menciptakan disharmoni di tengah masyarakat.
“Kebijakan ini terlalu terburu-buru. Dengan mayoritas ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah, dominasi mereka akan sangat kuat. Bagaimana dengan nasib ormas keagamaan lainnya?” ujar Ngabalin dalam rilis yang diterima redaksi, Rabu (05/06/2024). Ia menilai kebijakan ini mengusik rasa keadilan dan berpotensi memecah belah bangsa.
Ngabalin berpendapat bahwa ormas keagamaan seharusnya tidak diatur dalam undang-undang, peraturan menteri, atau keputusan presiden. “Ormas, sebagai lembaga sosial, didirikan untuk tujuan berserikat dan berkumpul, bukan untuk menjadi korporasi atau badan teknis,” tegasnya.
Sebagai anggota DPRD Provinsi Papua Barat, Ngabalin menyoroti peran ormas keagamaan yang seharusnya tetap dalam koridornya, yaitu membina warga bangsa dalam tatanan sosial. “Itu tugas besar yang belum terselesaikan hingga kini,” tambahnya.
Meski ormas sah-sah saja mendirikan perusahaan di bidang pertambangan, Ngabalin menilai keputusan resmi yang mengizinkan ormas untuk menambang adalah langkah yang keliru. “Tiba-tiba muncul ide yang, menurut saya, konyol, membuat keputusan resmi yang mengizinkan ormas untuk menambang,” katanya.
Ngabalin mengingatkan bahwa kebijakan ini mengundang pertanyaan besar tentang keadilan dan kesetaraan, serta mengancam kohesi sosial dan persatuan bangsa. Ia menegaskan bahwa ormas keagamaan sebaiknya fokus pada peran sosial dan pembinaan masyarakat, bukan terlibat dalam bisnis pertambangan.
“Dengan memprioritaskan keadilan, kesetaraan, dan persatuan bangsa di atas kepentingan sektoral atau golongan tertentu, kita dapat memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan merata bagi seluruh lapisan masyarakat,” tutup Amin Ngabalin.
Ngabalin menambahkan bahwa kebijakan ini bisa menciptakan realitas sosial yang dinamis dan sulit dikendalikan. Konflik internal ormas akan semakin meningkat, terutama jika salah satu ormas menguasai pengelolaan bahan galian tambang. Dominasi ini akan menimbulkan tekanan pada kepentingan lain, menyebabkan ketidakseimbangan politik.
Sejarah mencatat konflik antar pemeluk agama yang menelan banyak korban. Kebijakan ini bisa memicu kecemburuan sosial, terutama di daerah tambang dengan pemukiman berbeda agama.
Ngabalin mengingatkan bahwa sektor pertambangan seharusnya dikelola penuh oleh pemerintah, dengan pengusaha sebagai subkontraktor berdasarkan kaidah penambangan yang sehat untuk lingkungan alam dan sosial.
Saran Amin Ngabalin:
1. Ormas keagamaan tidak perlu diberi ruang spesial dalam bentuk undang-undang, peraturan menteri, atau keputusan presiden.
2. Ormas boleh menambang dengan mendirikan badan usaha, seperti yang sudah berlangsung.
3. Untuk pemerataan, izin penambangan rakyat (IPR) perlu diperbanyak di wilayah produktif.
4. Ormas keagamaan dapat diberikan space penambangan pada IUP milik negara.
5. Pada lahan IUP swasta atau pemerintah, space penambangan harus diberikan kepada organisasi masyarakat setempat yang diatur dengan ketat untuk mencegah perebutan kepengurusan ormas.
6. Lebih tepat memberikan hak penambangan kepada ulayat setempat untuk mendekatkan masyarakat dengan sumber daya alam.
7. Smelter dan pengolahan harus di bawah tata kelola lembaga profesional.
8. Smelter yang mencapai pulih modal harus dinasionalisasi, dan penyelenggara profesional milik negara melakukan perjanjian bagi hasil dengan perusahaan sebelumnya.
Menurut Ngabalin, tiga saran terakhir lebih bermanfaat daripada memberi peluang kepada ormas keagamaan yang berpotensi memecah bangsa. [MPI/HS]