Oleh. Haris Syamsudin*)
Gelombang pergeseran kepemimpinan politik dari kaum tua ke generasi muda kian hari semakin nyata. Ini bisa disaksikan melalui munculnya beberapa figur dari kalangan anak-anak muda yang berhasil menggeser posisi kepemimpinan yang semula dominan diisi para generasi tua. Figur-figur seperti Bobby Nasution (Wali Kota Medan) yang berusia 29 tahun ketika dilantik, Bupati Indragiri Hulu, Rezita Meylani Yopi 29 tahun, Bupati Samosir, Vandiko Timotius Goltum 31 tahun hingga Bupati Pangkajene dan Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan, M Yusran Lalogau 31 tahun saat dilantik adalah deretan anak-anak muda yang mampu membuktikan bahwa kursi kepemimpinan, dalam hal ini kepemimpinan daerah tidak mesti diduduki para kaum tua.
Dengan kata lain, kesempatan itu sangat terbuka bagi siapapun utamanya bagi generasi muda yang memiliki potensi dan kemampuan dalam mengelola pemerintahan. Fakta-fakta yang barusan disebutkan itu sekaligus mematahkan anggapan beberapa pihak yang menganggap politik adalah urusan orang-orang tua. Sementara, anak-anak muda dinilai tak pantas bahkan tidak layak untu memimpin, karena minim pengalaman dan pemahaman soal birokrasi dan pemerintahan.
Tentu saja anggapan tersebut salah besar bahkan terkesan meremehkan potensi yang dimiliki kaum muda. Harus diakui bahwa pengalaman kerap dijadikan salah satu tolok ukur untuk mendiskreditkan kemampuan yang dimiliki anak-anak muda itu sendiri. Padahal, tidak semua anak muda miskin pengalaman, apalagi soal kepemimpinan. Sebaliknya, tidak ada jaminan orang-orang tua adalah mereka yang paling berpengalaman dalam hal manajemen dan kepemimpinan. Semua itu relative dan sangat bergantung pada pengalaman hidup dan kualitas diri masing-masing. Ini seperti menyebut orang-orang tua lebih bijak dan dewasa dibandingkan mereka yang anak-anak. Padahal, semua belum tentu benar.
Perlu dicatat bahwa pemuda adalah episentrum pembangunan dan peradaban. Tanpa generasi muda, sebuah negera tidak akan mampu berdiri apalagi menjadi maju dan mandiri. Pemuda adalah entitas sosial yang memiliki kelebihan dari sisi elan vital, etos, kreativitas, energi dan visi. Hal ini jarang dimiliki generasi tua yang mulai digerogoti oleh usia. Itulah alasan mengapa memberikan kesempatan kaum muda untuk memimpin adalah sesuatu yang tidak saja penting, melainkan sebuah keharusan itu sendiri. Ini terlepas dari persoalan eksternal seperti tersandung kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang pada mayoritasnya berada di usia tua, serta menumpuknya kepentingan yang tidak terbuka kepada public sebagai pemegang kedaulatan. Anak-anak muda yang memiliki niat seperti ingin menjadi kepala daerah mereka lebih terbuka dengan keadaan pemerintahannya.
Yang Muda Memimpin
Tidak berlebihan menyebut pemuda adalah subjek yang tepat untuk menjadi pemimpin. Konteks kepemimpinan di sini tentu tidak dalam makna sempit atau sektoral, melainkan dalam konteks yang lebih luas. Termasuk dalam hal ini kepemimpinan sebagai kepala daerah, apakah itu bupati, wali kota atau bahkan gubernur. Hanya saja, sejumlah kendala yang selama ini masih menjadi penghalang utama bagi anak-anak muda untuk tampil di ranah kontestasi politik perlu dicarikan jalan keluar.
Adapun beberapa hambatan tersebut di antaranya: pertama, minimnya atensi partai politik untuk menjaring atau memberi ruang bagi anak-anak muda untuk berpartisipasi. Kedua, mahalnya biaya politik yang membuat sebagian besar anak-anak muda yang belum mapan secara finansial terpaksa kalah bersaing dengan mereka yang memiliki basis kapital memadai. Ketiga, transisi budaya politik.
Faktor ketiga ini harus diakui penyebab utamanya adalah adanya mentalitas dan mindset tentang politik adalah urusan kaum tua. Hal ini membuat kebanyakan anak-anak muda merasa terlalu dini untuk terjun dalam politik. Alhasil, tingginya antusiasme anak-anak muda terhadap politik selama beberapa tahun terakhir diharapkan menjadi era baru hadirnya kepemimpinan anak-anak muda.
Dari tiga faktor yang telah disinggung di atas, perlahan mulai terjadi perubahan ke arah positif menyongsong era baru kepemimpinan anak-anak muda di ranah pemerintahan. Faktor partai politik misalnya, tampilnya kepala-kepala daerah dengan usia termuda dinilai menjadi babak baru kesadaran parpol dalam memberi ruang sebesar-besarnya bagi anak-anak muda untuk berpolitik atau terlibat dalam kontestasi politik. Harapannya, semangat baru ini tidak hanya tumbuh di wilayah bagian barat Indonesia, tapi juga di belahan timur Indonesia yang masih kuat mengandalkan tradisi kepemimpinan di tangan kaum-kaum tua.
Semangat baru ini harus dimulai dari generasi muda itu sendiri. Harus ada keberanian anak-anak muda di wilayah Indonesia timur untuk ikut ambil bagian dalam kontestasi elektoral, khususnya di Pemilu pilkada 2024 mendatang. Tidak ada kata ‘belum saatnya’ untuk terlibat. Semua harus dimulai dari sekarang. Kesempatan itu tidak akan datang, selain ada yang memperjuangkannya. Untuk itu, momentum 2024 ini harus dijadikan titik tolak menyambut era baru tersebut. Harus ada keyakinan bahwa perubahan itu ada di tangan generasi muda, karenanya maju tidaknya daerah bergantung pada pemimpin-pemimpin muda yang visioner. *)