Sukabumi | Mediaprorakyat.com – Rentetan konflik agraria yang terus terjadi di Indonesia dinilai sebagai keniscayaan dalam sistem demokrasi kapitalistik. Ketua Bidang Kajian Hukum dan HAM DPC GMNI Sukabumi Raya, Septer Alexander Sagisolo, menegaskan pemerintah belum menunjukkan perubahan signifikan dalam penyelesaian konflik agraria yang setiap tahun menelan banyak korban.
Pada Rabu (24/9/2025) di Sukabumi, GMNI Sukabumi Raya menyoroti meningkatnya kasus agraria yang melibatkan jutaan keluarga di seluruh Indonesia. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sejak 2009 hingga 2022 terdapat 4.107 kasus konflik agraria yang berdampak pada 2,25 juta kepala keluarga.
Dalam keterangannya melalui pesan WhatsApp, Kamis (25/9/2025), Septer menyebutkan pemerintah pusat maupun daerah masih terkesan lemah dan lambat dalam mencegah konflik agar tidak meluas. Ironisnya, banyak konflik justru melibatkan perusahaan pelat merah atau BUMN.
Laporan KPA juga menunjukkan pada 2022 terjadi 212 konflik agraria, hanya selisih empat kasus dari tahun sebelumnya. Namun, luas wilayah terdampak melonjak dari 500.000 hektare pada 2021 menjadi 1,03 juta hektare pada 2022, dengan jumlah keluarga terdampak mencapai 346.000. Selain itu, KPA mencatat 497 kasus kriminalisasi terhadap pejuang agraria pada 2022, meningkat tajam dari 150 kasus pada 2021.
“Hal ini menunjukkan bahwa konflik agraria adalah konsekuensi dari sistem tata kelola agraria yang salah dan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada modal besar daripada masyarakat,” tegas Septer.
Ia menambahkan, praktik kriminalisasi terhadap warga pemilik sah tanah yang mempertahankan lahannya semakin sering terjadi, terutama di wilayah yang memiliki potensi tambang atau kekayaan alam untuk dieksploitasi.
Septer juga mengkritik pihak-pihak yang menyetujui masuknya Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kota Sorong, Papua Barat Daya, tanpa argumentasi jelas terkait dampak sosial dan lingkungan.
“Pemerintah seharusnya berpihak pada rakyat, bukan tunduk pada kepentingan kapitalisme. Selama aturan kepemilikan tanah membebaskan penguasaan oleh pemodal besar, dan negara tidak hadir untuk melindungi warga, maka konflik agraria akan menjadi keniscayaan,” pungkasnya.
[red/mpr/hs]