Manokwari | Mediaprorakyat.com – Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya, Amus Atkana, menanggapi penolakan masyarakat adat, khususnya Pemuda Adat Moi di wilayah Kepala Burung, terhadap ekspansi konsesi sawit dan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).
Amus menegaskan bahwa sikap penolakan tersebut merupakan bagian dari hak dasar masyarakat Adat Suku Moi yang berada di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, dan hak tersebut dilindungi oleh hukum.
“Hak-hak masyarakat adat adalah hak publik yang harus dihormati dan dijamin oleh negara. Masyarakat adat merupakan bagian dari publik yang memiliki hak atas pelayanan yang adil, setara, dan bermartabat,” ujarnya kepada Mediaprorakyat.com melalui pesan WhatsApp, Jumat (25/7/2025).
Tanggapan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, khususnya Pasal 4, yang menekankan bahwa pelayanan publik harus dilaksanakan secara adil, terbuka, bertanggung jawab, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat, serta memperhatikan kelompok rentan.
Menurut Amus, penolakan yang disuarakan oleh masyarakat adat Moi adalah bentuk ekspresi sah dari hak-hak konstitusional mereka. Hal ini sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Amus juga merujuk pada berbagai regulasi lain, seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 67, serta UUPA Pasal 3, yang mengatur hak masyarakat adat atas tanah dan hutan ulayat.
“Legalitas hak ini juga ditegaskan dalam peraturan daerah dan berbagai ketentuan perundang-undangan lainnya,” jelasnya.
Ombudsman menekankan bahwa pemerintah dan lembaga negara perlu memperlakukan masyarakat adat sebagai mitra sejajar dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, bukan sebagai objek yang dapat diabaikan.
“Kita harus membangun Papua dengan menghormati eksistensi, kearifan lokal, dan martabat masyarakat adat,” tegas Amus.
Ia juga menyinggung Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948, yang dalam pembukaannya menegaskan bahwa pengakuan atas martabat dan hak-hak semua manusia merupakan dasar bagi kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia.
Terakhir, Amus Atkana mengingatkan bahwa Papua Barat dan Papua Barat Daya memiliki dasar hukum khusus melalui UU Otonomi Khusus (Otsus) No. 2 Tahun 2021, yang merupakan perubahan dari UU No. 21 Tahun 2001.
“Nilai utama dari Otsus adalah menjadikan orang Papua sebagai tuan dan nyonya di tanah sendiri. Prinsip keberpihakan nyata ini harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat,” pungkasnya.
[red/mpr/hs]