Wamena | Mediaprorakyat.com – Sejumlah organisasi mahasiswa dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Front Justice for Tobias Silak menggelar pertemuan di Taman Kurulu Mabel, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, pada Sabtu (5/7/2025).
Pertemuan ini merupakan konsolidasi awal menjelang sidang ketiga kasus penembakan yang menewaskan aktivis muda Papua Pegunungan, Tobias Silak, yang dijadwalkan berlangsung pada Senin, 7 Juli 2025.
Perwakilan Front, Mijinus K. Ibage, menyampaikan bahwa pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang tengah berjalan.
“Kami mencermati proses demi proses yang terjadi, dan menemukan indikasi ketidakterbukaan serta upaya penyembunyian informasi oleh lembaga-lembaga terkait. Kami berharap sidang pada 7 Juli benar-benar digelar sesuai jadwal dan dilakukan secara terbuka,” ujar Mijinus.
Dalam kesempatan itu, Front menyampaikan lima tuntutan utama:
1. Sidang terhadap empat terdakwa harus dilaksanakan secara adil, independen, dan transparan.
2. Pelaku penembakan harus dijatuhi hukuman maksimal dan dipecat dari institusi.
3. Harus ada pengusutan menyeluruh terhadap semua pihak yang terlibat, termasuk atasan atau komandan lapangan, dan dijerat dengan pasal pembunuhan berencana.
4. Negara wajib memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada keluarga korban.
5. Front Justice for Tobias Silak mengajak seluruh organisasi masyarakat dan mahasiswa untuk hadir dalam sidang ketiga pada Senin, 7 Juli 2025 pukul 09.00 WIT di Pengadilan Negeri Wamena untuk mendengarkan tanggapan umum jaksa atas eksepsi terdakwa.
Organisasi yang tergabung dalam Front antara lain: GMNI, GMKI, HMI, PMKRI, HMKJ, HMY, Lapak Baca Agamua, Sekolah Alam Opalima, dan Forum Pribumi Papua.
Perwakilan Cipayung Plus Jayawijaya, Hengky Hilapok yang juga Sekretaris GMNI Jayawijaya menyampaikan keprihatinannya terhadap lambannya proses hukum.
“Kami mendesak agar pelaku penembakan diadili seadil-adilnya. Nyawa orang Papua tidak bisa diganti dengan uang. Segala proses harus diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku,” tegas Hengky.
“Jika proses pengadilan terus ditunda, ini akan memberi pesan buruk bagi rakyat Papua. Hukum akan terasa tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Jangan sampai hukum justru menjadi alat negara untuk menindas,” pungkasnya.
[red/mpr/js]