Bintuni, Mediaprorakyat.com – Kasus dugaan korupsi pengadaan mobil pedesaan Dinas Perhubungan yang menyeret Andreas Asmorom (AA), Kepala Bidang Darat (Kadid Darat) Dinas Perhubungan Teluk Bintuni, hingga kini belum dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Manokwari, Papua Barat.
Hal ini menurut Yohanes Akwan, Kuasa Hukum dari Andreas Asmorom seharusnya menjadi alarm bagi aparat khususnya kejaksaan yang memeriksa perkara ini, bahwa sebenarnya kasus yang dituduhkan oleh mereka kepada AA merupakan kasus yang dipaksakan.
“Kejaksaan sepertinya kesulitan untuk melakukan penyidikan terhadap klien kita, AA. Karena hingga kini, kasusnya belum dilimpahkan. Ini wajar, karena jaksa kekurangan bukti dan terus mencari-cari unsur kerugian apa yang telah ditimbulkan oleh klien kita, AA. Ini sangat tidak profesional,” ujar Akwan.
Menurutnya selain kesulitan dalam membuktikan keterlibatan atau dugaan tindak pidana korupsi atas pengadaan Angdes ini, Akwan melihat kesalahan instrumen yang dipergunakan kejaksaan Teluk Bintuni dalam menaksir kerugian negara.
“Dalam menghitung unsur kerugian negara, kejaksaan mempergunakan hasil perhitungan BPKP. Jelas ini keliru, dari awal sudah kami katakan baik di media atau langsung kami rekomendasikan ke kejaksaan. Tapi mereka memaksa menggunakan hasil penghitungan yang dilakukan oleh BPKP, yang mana tidak sesuai dengan rekomendasi LHP yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dalam perkara ini mempunyai kompetensi dan kewenangan dalam menghitung kerugian negara. Konstruksi atau kerangka kejaksaan dalam membangun kasus ini sudah salah dari awal. Kami yakin pada saat ini disidangkan, tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepada klien kami, tidak bisa dibuktikan oleh kejaksaan,” tegas Akwan.
Akwan menyarankan agar pihak aparat bisa berkoordinasi dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan BPKP atau Inspektorat, terkait aturan-aturan yang berlaku dalam pengawasan dan penindakan yang bisa dilakukan oleh kejaksaan.
“Ada aturan yang sebenarnya menghalangi kejaksaan dan kepolisian untuk memeriksa proyek pemerintahan sebelum masa anggaran berakhir. Maka itu, sebaiknya aparat dalam melakukan tugas dan kewenangan mereka yang berkaitan dengan pemerintah daerah, seharusnya dikoordinasikan dengan APIP. Jika sudah seperti ini, pihak kejaksaan yang memeriksa klien kami, AA sepertinya tidak memahami aturan sama sekali,” lanjut Akwan.
Sebelumnya, dalam konteks kasus ini, tim penyidik Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni telah menetapkan dua tersangka, yaitu AA dan Fransiskus Lusianak (FS), dalam perkara dugaan korupsi pengadaan mobil pedesaan. Keduanya langsung ditahan di Rumah Tahanan kelas IIB Bintuni setelah ditemukan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp386.477.274,00 dalam pengadaan tersebut.
Penyidik menjelaskan bahwa AA, yang merupakan Kabid Darat Dinas Perhubungan Kabupaten Teluk Bintuni, melakukan penunjukan langsung tanpa mengikuti mekanisme yang diatur dalam PERPRES pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sementara itu, FS, yang merupakan pelaksana kegiatan, meminjam perusahaan dengan pemalsuan tanda tangan dalam dokumen kontrak.
Penahanan keduanya didasarkan pada syarat objektif dan subjektif sesuai KUHAP, dengan alasan risiko melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau melakukan tindakan serupa. Keduanya dihadapkan pada Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang yang sama sebagai alternatif.
Hingga saat ini, AA dan FS masih berada di Rumah Tahanan kelas II Bintuni belum berstatus narapidana, masih menunggu perkembangan proses hukum selanjutnya, ujar petugas Rutan Kelas II B Bintuni baru-baru ini. [Hs]