
Bintuni | Mediaprorakyat.com — Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang diumumkan Presiden Joko Widodo menuai sorotan luas, termasuk dari kalangan pemerhati masyarakat di Teluk Bintuni, Papua Barat. Arimurti, seorang tokoh masyarakat yang juga Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dinas Pertanian Pemda Teluk Bintuni, menyuarakan keprihatinannya melalui sebuah tulisan reflektif berjudul “Rakyat Tanpa Subsidi.”
Dalam tulisannya, Arimurti menyoroti secara tajam dampak kebijakan pengalihan subsidi BBM terhadap masyarakat kecil, terutama petani. Ia menilai langkah pemerintah yang menaikkan harga BBM seperti Pertalite dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter, serta solar subsidi dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, akan memicu efek domino terhadap harga kebutuhan pokok, transportasi, hingga biaya produksi pertanian.
“Secara perlahan namun pasti, subsidi mulai dikurangi. Setelah premium dihapus, rakyat dipaksa beralih ke pertalite dan pertamax. Kini, harga pun naik dan membuat rakyat semakin menjerit,” jelas ASN yang pernah terjun dalam dunia jurnalistik itu. Sabtu (3/9/2022)
Arimurti juga menyinggung soal pengurangan subsidi pupuk, yang kini hanya diberikan untuk sembilan komoditas pertanian berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022. Petani yang menanam komoditas di luar itu tak lagi bisa mengakses pupuk subsidi, padahal harga pupuk nonsubsidi jauh lebih mahal.
“Lalu bagaimana nasib petani yang menanam selain padi, jagung, atau tebu? Mereka tetap harus membeli pupuk mahal, sementara harga hasil panen tidak menentu,” ujarnya.
Ia juga mengkritisi kurangnya perlindungan harga dan pasar dari pemerintah, yang kerap mengambil langkah impor saat harga pangan lokal mulai membaik. “Sungguh tidak adil. Petani bekerja berbulan-bulan, tetapi saat harga bagus malah dihantam impor,” tulis Arimurti dalam etnografi tersebut.
Mengakhiri tulisannya, Arimurti menyerukan perlunya kebijakan cepat dan efektif dari pemerintah agar kondisi sosial ekonomi masyarakat, khususnya petani, tidak semakin terpuruk.
“Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang cepat, tepat, dan efektif dari pemerintah. Sehingga mimpi buruk yang tinggal menunggu waktu ini tidak semakin parah,” pungkasnya.
[red/mpr/hs]









