Bintuni, Mediaprorakyat.com – Keluarga besar Marga Ateta secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana perluasan lahan kelapa sawit oleh PT Borneo Prima Subur dan PT Farita Maju Utama di wilayah Distrik Sumuri, Kabupaten Teluk Bintuni.
Pernyataan sikap ini disampaikan langsung oleh Kepala Marga Ateta, Benediktus Ateta, dalam sebuah pertemuan adat yang digelar di atas tanah milik Marga Ateta, tepatnya di Kampung Forda Padang Raja Wali dan sekitarnya, pada Kamis (17/4/2025).
Mewakili 19 marga, Benediktus menegaskan bahwa penolakan tersebut dilandasi oleh empat alasan utama:
Kerusakan Lingkungan: Aktivitas perluasan lahan sawit dinilai berpotensi merusak ekosistem alami Distrik Sumuri. “Aktivitas perluasan lahan sawit dinilai berpotensi merusak ekosistem alami Distrik Sumuri,” ungkap Benediktus, kepada jejaring mediaprorakyat.com, Jum’at (18/4).
Pengambilalihan Lahan: Pengembangan kebun sawit dikhawatirkan akan menggerus hak kepemilikan masyarakat adat atas tanah warisan leluhur.
Dampak Sosial: Kegiatan perusahaan dianggap berpotensi membawa dampak negatif terhadap tatanan sosial masyarakat setempat.
Minimnya Manfaat: Hingga saat ini, masyarakat belum merasakan manfaat signifikan dari keberadaan perusahaan kelapa sawit. “Masyarakat merasa usaha kelapa sawit tidak memberikan dampak positif,” tandasnya.
Benediktus menegaskan bahwa masyarakat adat tidak menolak pembangunan secara umum, tetapi menolak setiap bentuk aktivitas yang mengabaikan hak-hak adat dan merusak lingkungan. “Kami minta kegiatan ini dihentikan dan hak kami sebagai masyarakat adat dihormati,” tegasnya.
Meski demikian, berdasarkan informasi dari pihak keluarga, saat ini proyek HAMDAL (Kajian Dampak Lingkungan) masih berjalan dan bahkan telah mendapat persetujuan dari Dinas Lingkungan Hidup. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri di tengah masyarakat adat.
Penolakan terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit di Distrik Sumuri sejatinya bukanlah hal baru. Namun, suara yang semakin lantang dari berbagai marga kini menjadi sinyal kuat bagi pemerintah dan pihak perusahaan untuk lebih menghormati aspirasi masyarakat adat.
Perwakilan 19 marga juga menyampaikan bahwa pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya pada 30 November 2024. Saat itu, pihak marga telah mengajukan surat penundaan AMDAL ke Dinas Lingkungan Hidup Provinsi pada 5 Desember 2024, dengan pendampingan dari LSM.
“Waktu itu semua surat-surat dibantu oleh LSM dan sudah kami masukkan,” jelas Benediktus.
Dalam kegiatan tersebut, turut hadir anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, Tres Ateta, sebagai bentuk dukungan terhadap sikap Marga Ateta. [HS]